Memahami Perkembangan dan Tantangan Bank Konvensional di Era Digital

Oleh : Catherine Margaretha_Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Siber Asia
Di era digital yang semakin maju ini, bank konvensional ataupun industri perbankan menghadapi berbagai tantangan baru. Perubahan teknologi dan perilaku konsumen yang berubah telah mengubah lanskap perbankan tradisional.
Untuk mendapatkan wawasan lebih dalam mengenai tantangan yang dihadapi oleh bank konvensional di era digital, kami melakukan wawancara dengan Eduardus Bramono, seorang Manajer Tim Premier Banking di PT Bank OCBC NISP.
Baca juga Influencer Gunawan Wibisono: Soroti Kondisi Jalan Rusak yang Menghambat Mobilitas
Eduardus Bramono, atau yang akrab dipanggil Edo, telah bekerja di PT Bank OCBC NISP selama 13 tahun sebagai Manajer Tim Premier Banking Head.
Tim yang ia pimpin bertanggung jawab dalam menangani nasabah Premier Banking, yaitu nasabah dengan saldo tabungan atau dana lebih dari 1 miliar rupiah.
Tugas utama Edo adalah mengelola timnya untuk mencapai target yang ditetapkan dan kadang-kadang ia juga turun langsung untuk melayani nasabah.
Ketika ditanya mengapa ia tertarik bekerja di bidang perbankan, Edo menyebutkan bahwa salah satu alasan utamanya adalah gaji yang kompetitif dan lokasi kantor yang dekat dengan rumahnya.
Selain itu, ia juga merasa tertarik dengan dinamika industri perbankan yang selalu berubah dan berkembang.
Bank OCBC NISP, tempat Edo bekerja, telah melalui perjalanan panjang sejak didirikan sebagai NV Nederlandsch Indische Spaar En Deposito Bank di Bandung pada awalnya.
Setelah beberapa kali perubahan nama, akhirnya pada tahun 1997, Bank NISP melakukan joint venture dengan OCBC Bank Singapore.
Pada tahun 2008, OCBC Bank membeli saham mayoritas dari Bank NISP dan sejak tahun 2010 hingga saat ini, Bank OCBC NISP menjadi anak perusahaan dari Bank OCBC Singapore.
Bank OCBC NISP telah mencapai beberapa prestasi yang mengesankan. Beberapa di antaranya adalah meraih penghargaan “The Best Bank of The Year Indonesia” oleh The Banker, London selama lima tahun berturut-turut dari 2018 hingga 2022.
Mereka juga masuk dalam daftar “Top 5 Companies in Indonesia” oleh LinkedIn pada tahun 2022 dan meraih penghargaan “Best Private Bank Indonesia” dari GBAF Publication, Global Banking & Finance Review Award selama tiga tahun berturut-turut dari 2020 hingga 2022.
Bank OCBC NISP memiliki target pasar yang berbeda-beda. Mereka menargetkan nasabah dari segmen Mass yang memiliki pengelolaan dana di bawah 500 juta rupiah, serta nasabah Premier Banking yang memiliki total dana minimal 1 miliar rupiah.
Namun, Edo menekankan bahwa bank ini lebih fokus pada generasi muda, seperti milenial dan Gen Z, karena mereka adalah masa depan perbankan.
Generasi baby boomer saat ini akan digantikan oleh generasi milenial dan Gen Z, dan Bank OCBC NISP ingin memposisikan dirinya sebagai pilihan yang relevan bagi generasi tersebut.
Salah satu kampanye terbaru yang dilakukan oleh Bank OCBC NISP adalah “Nyala Digital”.Kampanye ini dapat ditemukan lebih lanjut di website resmi Bank OCBC NISP.
Kampanye tersebut bertujuan untuk mempromosikan layanan-layanan digital yang ditawarkan oleh bank, seperti internet banking melalui website, aplikasi mobile banking bernama One Mobile, dan layanan internet banking untuk nasabah korporat yang dikenal sebagai Velocity.
Dalam era digital, keamanan menjadi salah satu perhatian utama, terutama dalam penggunaan layanan perbankan digital.
Ketika ditanya tentang keamanan sistem mobile banking dan internet banking OCBC NISP, Edo menjelaskan bahwa mereka menggunakan teknologi kriptografi dengan standar AES-128 bit untuk melindungi data nasabah.
Selain itu, OCBC NISP juga menerapkan penggunaan double password untuk proses login, sehingga memberikan tingkat keamanan yang lebih tinggi dan mengurangi risiko penyalahgunaan oleh pihak yang tidak bertanggung jawab.
Kehadiran bank digital dan layanan fintech telah menjadi tren yang cukup diminati oleh masyarakat dalam beberapa tahun terakhir.
Edo berpendapat bahwa hal ini terjadi karena perkembangan teknologi dan akses mudah terhadap informasi telah mengubah perilaku konsumen dalam bertransaksi keuangan.
Konsumen cenderung lebih memilih layanan perbankan digital yang menawarkan kemudahan, kecepatan, dan kenyamanan dalam berinteraksi dengan bank.
Terlebih lagi, adanya pergeseran demografi dengan dominasi generasi milenial dan Gen Z di dunia kerja membuat penetrasi digital banking di Indonesia semakin tinggi.
Namun, Edo juga mengakui bahwa bank konvensional menghadapi tantangan dalam mempertahankan bisnis mereka di era digital. Persaingan semakin ketat dengan munculnya pemain baru, termasuk bank digital dan perusahaan fintech.
Selain itu, perusahaan non-bank yang menawarkan layanan keuangan digital, seperti pinjaman online, juga mendorong perbankan untuk terus berinovasi dan meningkatkan pengalaman nasabah agar tetap relevan dan mempertahankan pangsa pasar.
Selain tantangan dari pemain baru, perkembangan teknologi seperti kecerdasan buatan (AI) dan blockchain juga menjadi faktor yang mempengaruhi perbankan.
Edo berpendapat bahwa AI, blockchain, big data, dan Internet of Things (IoT) menciptakan tantangan baru bagi perbankan. Untuk tetap kompetitif, perbankan perlu mengadopsi teknologi ini dan memberikan pengalaman digital yang inovatif bagi nasabah.
Misalnya, penggunaan blockchain dapat meningkatkan keamanan data nasabah, meskipun saat ini masih terbatas karena adopsi teknologi yang masih rendah dan biaya implementasi yang tinggi.
Dalam segi teknologi, perbankan juga dihadapkan pada tantangan keamanan data nasabah, privasi, dan kepatuhan terhadap regulasi. Bank harus memastikan bahwa teknologi yang digunakan sesuai dengan persyaratan regulasi yang ketat.
Terkait dengan sumber daya manusia (SDM), Edo berpendapat bahwa bank harus mengadopsi transformasi budaya yang mengutamakan inovasi, kolaborasi, dan ketangkasan dalammenghadapi era digital.
Selain itu, bank perlu mengembangkan keahlian digital di dalam organisasi dan mengubah pola pikir karyawan agar dapat beradaptasi dengan perubahan teknologi yang terus berlangsung.
Dalam diskusi tentang keamanan digital, Edo juga menyebutkan kasus peretasan yang baru-baru ini terjadi pada Bank BSI. Dia mengakui bahwa ancaman keamanan siber yang kompleks adalah hal yang harus dihadapi oleh perbankan di era digital ini.
Perlindungan data nasabah, pencegahan serangan siber, dan menjaga privasi informasi menjadi fokus utama dalam upaya melindungi bank dan nasabah dari serangan dan kebocoran data yang merugikan.
Dalam menghadapi tantangan ini, Edo melihat adanya potensi dalam pemanfaatan kecerdasan buatan (AI) dan teknologi blockchain.
AI dapat membantu bank dalam memberikan rekomendasi kepada nasabah, mengelola risiko, dan memberikan pengalaman yang personal dan efisien.
Sementara itu, blockchain dapat meningkatkan keamanan data dan memungkinkan transaksi yang lebih aman dan terpercaya.
Pada intinya, tantangan yang dihadapi oleh bank konvensional di era digital ini adalah persaingan dengan bank digital dan perusahaan fintech, perubahan perilaku konsumen yang menginginkan layanan perbankan yang lebih cepat dan praktis, serta penggunaan teknologi baru seperti AI dan blockchain.
Untuk tetap relevan, bank perlu beradaptasi dengan perubahan ini, meningkatkan keamanan data nasabah, mengadopsi teknologi baru, dan mengembangkan keahlian digital di dalam organisasi mereka.
Dengan melakukan hal ini, bank konvensional dapat terus bersaing dan memberikan nilai tambah kepada nasabah di era digital yang semakin berkembang.
2Comment