Industri kelapa kembali lagi mengalami keterpurukan. Kali ini permasalahan datang akibat konflik yang terjadi antara Russia dan Ukraina, yang sebelumnya juga sudah mengalami keterpurukan akibat adanya pandemi yang sudah berlangsung selama dua tahun terakhir sejak tahun 2020. Tetapi hal itu masih bisa diatasi dan para pelaku industri kelapa masih bisa bertahan dan survive.
Lain hal nya dengan keadaan saat ini, konflik antara Russia dan Ukraina membawa dampak yang cukup drastis. Aktivitas global yang biasa dilakukan sebagai perdagangan internasional sangat terganggu. Pasalnya kegiatan ekonomi yang terjadi di negara-negara tersebut tidak stabil, sehingga menyebabkan turunya daya beli masyarakat yang berakibat anjloknya harga kelapa utuh atau olahan.
Hal ini dikatakan langsung oleh Market Statistic Officer dari International Coconut Community (ICC) Alit Pirmansyah, bahwa konflik Rusia dan Ukraina membawa keterpurukan di industri kelapa. Meskipun tidak berdekatan langsung secara fisik, tetapi banyak negara pengekspor kelapa yang terkena dampaknya. Khususnya yang terjadi di kawasan Asia Tenggara.
Menurut data, diantaranya terjadi di Filipina, Kopra pada bulan Maret 2022 kemarin. Awalnya USD 1.221/MT turun menjadi sekitar USD 773/MT pada bulan Juli 2022. Dan kelapa parut pada Maret USD 2.700/MT turun drastis menjadi USD 2.000/MT pada bulan Juli 2022.
Komoditas kelapa kupas yang minim tambah pun juga mengalami penurunan. Dalam perdagangan domestik yang terjadi di Filipina, yang awalnya pada bulan Maret 2022 di harga USD 234/MT turun hampir 50 persen, menjadi USD 151/MT di bulan Juli 2022.
Kejadian serupa juga dialami di negara sendiri, Indonesia. Serta negara lainnya seperti Thailand, Vietnam, dan negara kawasan lainnya yang menjadi pengekspor kelapa. Menurut Alit hal ini bisa diatasi dengan dua cara, pertama dengan cara meningkatkan konsumsi domestik dalam negeri. Hal ini merupakan solusi terbaik yang bisa dilakukan saat ini.
Dicontohkan langsung olehnya, seperti yang terjadi di India, konsumsi domestik kelapa nya cukup besar, sehingga terjadinya penurunan permintaan dari negara importir kelapa tidak menjadi masalah besar. Pada akhirnya industri kelapa di India yang besar tetap bisa terkendali dengan adanya konsumsi domestik yang tinggi.
Kedua, dalam keterangannya Alit Pirmansyah menambahkan opsi lain yang bisa digunakan, dengan cara meningkatkan nilai tambah produk kelapa. “Kemampuan mengelola keseluruhan kelapa ini penting di masa seperti sekarang ini. Sebab kalau hanya mengandalkan penjualan kelapa butiran saja saya rasa akan kesulitan”, ujarnya.